0

Oleh: Nurhasan, S.Pd.I.*

Kalau kita lihat kebangkitan pendidikan Islam makin hari makin kuat di Indonesia. Ini adalah sebuah tanda-tanda yang baik. Pendidikan adalah tentang masa depan dan menyiapkan generasi baru. Pendidikan tak sekadar membentuk tapi menumbuhkan. Karena menumbuhkan maka kebutuhan dasar yang diperlukan adalah bagaimana tanah tempat biji tumbuh bisa subur dan iklimnya baik. Kalau anak diibaratkan sebagai biji, maka saat masih berbentuk biji batang, akar, dan daunnya tak akan kelihatan.

Sehebat apapun sebuah biji ia tak akan kelihatan seluruh komponennya. Tapi nanti kalau sudah tumbuh berkembang menjadi tanaman maka akan terlihat batang, daun, bunga, dan buahnya.

Tapi kadang-kadang saat kita melihat biji seperti kita melihat tanaman yang lengkap. Kemudian kita ingin biji ini punya semuanya; bunga, daun, dan buah. Ya tidak mungkin. Sebab biji bisa menjadi tumbuhan yang lengkap memerlukan waktu dan proses penumbuhan. Biji yang baik membutuhkan lahan yang subur. Di mana lahan yang subur tersebut? Di antaranya ada di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar. Karena itu kalau kita berbicara tentang pendidikan seperti menumbuhkan biji tanaman tersebut. Maka pendidikan karakter dan akhlak bukan sekadar dibentuk tapi ditumbuhkan.

Saat kita SMP dulu ada pelajaran praktik biologi. Satu tanaman diarahkan dekat matahari. Yang satunya lagi jauh dari sinar matahari. Pasti arah tumbuhnya berbeda. Padahal bibit dan tanahnya sama. Jadi tanaman tersebut ada yang belok kanan dan belok kiri. Bukan daunnya yang kita belokkan tapi rangsangannya yang berbeda.

Karenanya mengelola sebuah institusi pendidikan adalah mengelola rekayasa. Contoh ketika keluarga di rumah kita ingin anak yang individualis atau anak yang dekat saudaranya. Misal ada keluarga punya tiga anak saat bikin rumah dibuat tiga kamar lalu setiap kamar dibuatkan kamar mandi dalam. Lalu keluarga satunya punya 4 anak tapi kamar mandinya hanya dibuat satu di luar. Apa yang terjadi? Keluarga yang satu anak-anaknya tumbuh secara individual. Sebab semuanya diselesaikan sendiri.

Keluar dari kamar sudah bersih. Tapi keluarga yang satunya rebutan kamar mandi tiap hari. Sehingga satu sama lain saling tahu karakternya. Mana yang mandinya paling lama dan sebagainya. Inilah pendidikan. Maka jangan dibayangkan pendidikan hanya sekadar yang tertulis, dibaca, dan diuji. Tapi pendidikan adalah proses pembiasaan. Jadi kita bisa merangsang anak sesuai dengan skenario yang mau kita buat. Karena itu keberhasilan keluarga dan institusi pendidikan adalah ia bisa membuat aturan main yang membentuk karakter dan akhlak.

Maka sekolah harus memikirkan rekayasa yang seperti apa. Perilakunya direkayasa dan ditumbuhkan. Jangan sampai anaknya abad 21, gurunya abad 20, dan ruang kelasnya abad 19. Bahkan ada yang abad 17. Sekarang harus berubah. Jadi kalau mau memikirkan pendidikan rekayasalah tentang masa depan. Umat Islam sering gagal bukan perkara mampu atau tidak mampu, tapi tidak mau untuk mengantisipasi perubahan. Karenanya kalau ingin mengukur keberhasilan anak jangan dilihat di hari ini. Bijinya dinilai belum ada apa-apanya

Baru nanti kalau bijinya besar akan terlihat kualitas daun, batang, dan buahnya seperti apa. Maka jangan terlalu puas dengan penilaian di hari ini. Hari ini bisa dibuat sebagai langkah awal perbaikan pendidikan. Para pengelola lembaga pendidikan jangan pernah puas dengan pengukuran di hari ini. Dan siapkan masa depan.

Dalam proyeksi  pendidikan abad 21, kebutuhan masa depan bagi anak-anak kita setidaknya ada tiga komponen yang paling mendasar.

Pertama, karakter atau akhlak. Ini sudah diakui dunia. Tanpa karakter akan berat. Lalu karakter ini ada dua macam; moral dan kinerja. Moral meliputi iman, takwa, jujur, rendah hati, dan sebagainya. Kinerja di antaranya kerja keras, ulet, dan tak mudah menyerah. Kita tidak ingin ada anak jujur tapi pemalas. Ada anak kerja keras tapi culas.

Kedua, kompetensi. Kompetensi setidaknya ada empat; berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.

Ketiga, literasi. Khususnya tentang literasi baca. Ada pepatah yang mengatakan, “Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya.” Dengan membaca akan membuka wawasan dan cakrawala berpikir. Tapi realitas di negeri kita sering minat baca tinggi tapi daya bacanya rendah. Contohnya kalau baca WA dan media sosial kuat berjam-jam. Tapi begitu ada tulisan agak panjang di skip. Ada buku yang tebal capek bacanya. Selain literasi baca yang harus ditingkatkan adalah literasi menulis, budaya, dan teknologi.

Urusan pendidikan, Islam sering terkalahkan banyak di hal ini. Karena tidak mempersiapkan perubahan. Karenanya hal pertama paling fundamental adalah pendidikan karakter. Tapi kompetensinya jangan sampai hilang. Terkait dengan ini sahabat Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.”

Maka kita jangan tanya kepada anak kelak jika besar mau jadi apa? Tapi tanyalah kelak jika sudah besar mau membuat apa? Dulu kalau mau ngirim surat harus lewat pak pos. Tapi hari ini sudah tak ada lagi tukang pos ngirim surat. Tapi ngirimnya lewat email atau WA. Ke depan perubahannya akan lebih cepat. Jadi pengelola institusi pendidikan jangan terpukau dengan cerita masa lalu, tapi gelisahlah dengan masa depan.

Gelisah dengan sekolah-sekolah terbaik dunia. Sebab kemenangan disiapkan di ruang-ruang keluarga dan ruang kelas. Di situ kebangkitan umat akan terjadi. Karenanya tiga komponen di atas; karakter, kompetensi, dan literasi harus disiapkan betul oleh institusi keluarga dan pendidikan. Insya Allah dengan begitu anak-anak akan siap untuk menghadapi tantangan zaman di masa depan.

Di sisi yang lain terkait dengan pendidikan karakter, menurut Ustaz Satria Hadi Lubis setidaknya ada 8 ucapan ajaib dalam membentuk karakter anak. Di antaranya adalah:

Ucapan Salam

Ajarkan dan biasakan anak mengucapkan, “Assalamu’alaikum.” tiap masuk rumah. Baik rumah sendiri maupun rumahnya orang lain. Termasuk mau masuk kamarnya orangtua. Ucapan salam ini bisa membentuk karakter dan jiwa kedamaian pada diri anak.

Ucapan Zikir

Ajarkan dan biasakan anak mengucap sesuatu yang mengandung muatan zikir kepada Allah dalam merespon segala sesuatu. Misal; Astaghfirullah, Subhanallah, Alhamdulillah,  Masya Allah, Insya Allah,  Barakallah, dan lain sebagainya. Bukan ucapan: Astaga! Gila! Anjirr!

Ucapan Tolong

Ajarkan dan biasakan anak mengucap kata “Tolong” setiap ia meminta bantuan kepada orang lain. Jika terbiasa dengan kata ini, akan tumbuh karakter rendah hati dan tidak sombong pada jiwa anak.

Ucapan Terimakasih

Ajarkan dan biasakan anak mengucap kata “Terimakasih” atau “Jazakallah khoiron katsiro” untuk berbagai hal yang positif, sebagai apresiasi kepada orang lain yang telah memberikan pertolongan bagi dirinya. Anak yang tumbuh dengan menghargai orang lain akan menumbuhkan kebesaran jiwa.

Ucapan Maaf

Ajarkan dan biasakan anak untuk mudah meminta maaf kepada orang lain, meskipun ia tidak melakukan kesalahan. Apalagi jika ia memang melakukan kesalahan. Anak yang terbiasa meminta maaf akan tumbuh sikap empati dan kasih sayang.

Ucapan Iya/Baik

Ajarkan dan biasakan anak untuk mengucapkan kata “Iya/Baik” atau “Siap” sebagai respon dari nasihat atau perintah dari orangtua. Kadang saat ibu atau ayah meminta anak untuk melakukan sesuatu, ia hanya mengangguk atau bahkan diam saja. Ungkapan ini membentuk karakter peduli dan menghargai.

Ucapan Izin/Permisi

Ajarkan dan biasakan anak untuk meminta izin dalam berbagai kondisi. Misalnya minta izin untuk menggunakan benda yang bukan miliknya. Hal ini membentuk karakter tertib.

Ucapan Bisa

Ajarkan dan biasakan anak untuk berpikir dan bersikap optimistik. “Aku bisa!” Ini adalah ungkapan optimistik. Membuat anak tumbuh dengan percaya diri. *Pengurus KSPPS Uswah Mandiri Sejahtera


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this
Chat
Hallo Sahabat Al Uswah
Admin ChatAl Uswah CentreWhatsApp
Dsu Al UswahWhatsApp