Oleh: Aisyah*
Cepat sekali masa sebelum dewasa itu masuk ke dalam kehidupanku yang bahkan belum sepenuhnya siap menelan mentah-mentah segala drama yang akan ditumpahkan dalam fantasi memori seorang anak yang tahun lalu masih memeluk boneka beruangnya, sedikit konyol ketika aku sendiri lama tak menyadari bahwa 16 tahun itu datang kepadaku tanpa permisi dan mengkoyak segalanya.
“Kamu sudah besar harus jaga diri!, jangan jauh-jauh”
Penat rasanya ketika hampir setiap kata-kata itu terdengar, bahkan gendang telinga kini enggan untuk sekadar menyalurkanya kepada otak, untuk memberitahu kepada setiap organ tubuh atau jiwanya bahwa dia tak lagi sama seperti anak perempuan yang dulu masih bermain pasir di sore hari.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, matahari kini rasanya seperti penjahat kelas kakap yang sudah tidak mau terbit lagi, sekadar mampir atau bahkan acuh untuk menyapa, hingga pada akhirnya malam teman yang paling setia. Setiap kali ingin membuka mata serasa harapan yang sudah rapi tertata malah melebur dengan tenangnya. Aku tak memaksakan segalanya, hanya saja butuh sedikit waktu untuk bernapas bersih dari ruangan yang penuh dengan pola kekangan dan ketidak bebasan, sulit untuk dipercaya atau bahkan begitu aneh untuk dibicarakan.
“Jangan dulu ya, kan masih ada tahun depan buat ambil beasiswanya ke Brunei. Toh, masih banyak yang daftar diundur, kamu kuliah di Indonesia aja ya, kalau perlu ambil yang masih di dalam kota. Jangan jauh-jauh dulu. Apalagi kamu anak perempuan bisa bahaya nanti.”
Ketika aku mencoba untuk sedikit memberi jarak kepada mereka tak senggan-senggan mereka menarik kembali agar aku tak terlalu jauh untuk pergi, namun ketika aku memilih untuk berdiam diri dimalaskan oleh keadaan, malah sebaliknya orang-orang itu memintaku untuk keluar menjadi liar dan pergi jauh dari mereka. Siapa sebenarnya yang paling berperan dalam hal ini?. Tokoh utama atau bahkan sutradara dengan segala kerja etosnya. Lama sekali aku mengangkat kedua tanganku sampai-sampai air mata sudah malas membasahi pipiku hanya untuk meminta jawaban dari segala pertanyaan mengapa? dan mengapa?, Tapi itulah Tuhan yang dengan segala keajaibanya selalu menyediakan banyak kejutan untuk hambanya yang mau bersabar dan terus meminta. Lelah dirasa, memang sangat Lelah.
Aku masih belum berani untuk bersuara, atau bahkan mengelak seseorang yang paling berperan dalam hidupku. Tapi ketika terus lama terpendam dengan percuma, sesak rasanya untuk lama bersinggah dengan segala keadaan yang tak pernah mendudukungku. Jika dirasa memang sudah takdir dan memang sudah ditetapkan untuk rencana dalam hidup, tentunya aku tak akan merubah skenario apapun dari tuhan, karena aku tau segalanya akan terasa lebih indah jika dikendalikan oleh sang Maha Cipta secara langsung. Namun berbeda jika hal ini hanya sebuah keadaan yang dapat ditaklukan, sudah lama aku akan menghancurkannya dan menatanya kembali sesuai iramaku.
“Sudah kamu manut saja sama Umi Abah, kami lebih tau mana yg tepat buat kamu“
Memang semuanya tak mudah untuk mengendalikan hidup atau bahkan menyesuaikan dengan segala macam pilihan yang ada atau yang menurut mereka paling tepat. Kadang Ketika hati berujar bahwa itu yang paling terbaik, belum tentu manusia yang lain sepakat. Memang dari segi raut wajah yang di andalkan menyetujuinya tapi belum tentu yang didalam berkata “Ya”. Dan ketika sematawayang sudah ditaklukan oleh segalanya, tatkala ia tak pernah akan bisa untuk berbuat apa-apa. *Kelas X IPS SMAIT Al Uswah Tuban
0 Comments