Oleh: Nur Afika Putri, S.P.*
Tak pelak bahwa Allah SWT menciptakan langit dan menjadikannya tujuh lapis, menegakkan gunung dan menjadikannya sebagai pasak, serta menghamparkan bumi dan menjadikannya sumber kehidupan. Tiada satupun ketidakseimbangan dalam seluruh ciptaan-Nya, tiada pula satupun yang nampak kecacatannya. Begitu sempurna. Tiadalah manusia kecuali hanya makhluk lemah, serba terbatas, dan tunduk kepada-Nya.
Pada ciptaan-Nya yang begitu sempurna ini, manusia yang dikaruniai akal tidaklah layak berjalan di muka bumi dengan merajalela berbuat kerusakan dan sewenang-wenang. Akal ini menjadikan manusia diberikan kehormatan untuk mengelola kehidupan di bumi sesuai dengan kedudukannya sebagai khalifah.
Sejatinya manusia hidup pada dua area, area yang dikuasainya dan area yang menguasainya. Semua peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia itu bersumber dari Allah. Adapun area yang dikuasai manusia, manusia berjalan sukarela di atas nizham (peraturan) yang dipilihnya, apakah itu syariat Allah atau syariat lainnya.
Bagaimana manusia sebagai khalifah mengelola bumi ini termasuk ke dalam area yang dikuasainya, sehingga manusia melakukan perbuatan secara sukarela tanpa ada paksaan sedikitpun. Dan dijadikan akal manusia memiliki kemampuan untuk menimbang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, memilih jalan kefasikan atau jalan ketakwaan. (QS. Asy-Syams :8).
Namun Allah telah memberikan manusia panduan berupa Al-Qur’an dalam mengelola kehidupan di bumi untuk memenuhi gharizah (naluri) dan kebutuhan jasmaninya. Karena pada area yang dikuasai manusia, manusia akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban. Manusia akan dihisab tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifahannya. Ketika ia lalai dari tugasnya, maka ia akan berbuat kerusakan di bumi. Padahal Allah melarangnya. (QS. Al-Baqarah : 11).
Pada akhirnya akar masalah kerusakan di bumi ini adalah manusia meninggalkan tugas suci kekhalifahannya karena tidak paham pada hakekat tujuan diciptakaannya, berpaling dari pedoman hidup dan tidak paham akan kemana setelah kehidupan dunia ini berkahir.
Maka solusinya tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah pemahaman tentang kehidupan. Pemahaman yang melahirkan pemikiran tentang hidup, alam semesta, dan manusia; tentang Zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan apa yang ada sesudahnya; juga keterikatan kehidupan dunia dengan Zat yang ada sebelumnya dan apa yang ada sesudahnya. Pemahaman inilah yang akan mengubah perilaku manusia secara kontinu. *Guru SMAIT Al Uswah Tuban/Alumnus IPB Hafiz 30 juz)
0 Comments