0

Di kalangan umat muslim zikir tak lagi asing. Berzikir bisa dijadikan sarana mendekatkan diri kepada sang holik. Bermunajat kepadanya seraya memohon ampun atas segala hilaf. Zikir sering dijadikan media penghitung seperti tasbih atau alat penghitung (counter), dikarenakan lebih utama dan mudah menurut sebagian ulama. Zikir menjadikan rutinitas yang kerap menghiasi diri setiap muslim.

Sebuah aktivitas ibadah dalam umat muslim untuk mengingat Allah. Di antaranya dengan menyebut dan memuji nama Allah, dan zikir adalah satu kewajiban yang tercantum dalam Al-Qur’an.

Nah, sekarang menjadi instropeksi untuk diri kita yakni seberapa baik kualitas zikir kita kepada Allah? Seberapa sering kita mengingat segala kesalahan kita dan memohon ampun kepada-Nya serta bertekad tak akan mengulanginya kembali.

Ini menjadi bahan renungan bagi kita di saat tingkah laku, tutur kata, serta hilaf kita tak lepas dari pantauan Allah. Dua malaikat senantiasa menjadi pengikut setia kita. Merekam segala bentuk polah diri kita.

Sebagaimana Muhammad SAW yang notabene sebagai utusan sah-nya Allah setiap harinya tak lupa akan berzikir kepada pencipta semesta. Padahal Rasulullah telah mendapat gelar Maksum. Namun, dengan status yang disandangnya tak lantas meninggalkan berzikir kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Apalagi kita yang masih menyandang status hamba sahaya yang doyan berbuat dosa? Bagaimana pertanggungjawaban kita nanti ketika berhadapan di yaumul akhir? Ketika semua amal perbuatan kita ditimbang dengan seadil-adilnya? Ah, kita harus berbenah. Act now!

Kita sebagai manusia ciptaan Allah yang paling sempurna mempunyai kewajiban beribadah. Tentu dengan spesifikasi cara dan waktu berzikir yang berbeda diantara mahluk hidup yang lain. Zikirnya sufi akan berbeda dengan manusia biasa. Bahkan lintas profesi pun berbeda berzikirnya.

Dalam kamus ajaran Sufi, terdapat pengklasifikasian zikir menjadi tiga jenis; yaitu zikir ‘âmmah (zikir orang umum), zikir khâsh (dzikir orang khusus), zikir khâshsshatil khâshshah (zikir orang-orang paling utama). Namun Rasulullah mengajarnya zikir secara umum atau yang kategori yang pertama. Zikir yang dimaksud yakni lâ ilâha illallâh. Ucapan zikir yang paling utama.

Bagi seorang Sufi, Syaikh Abu ‘Ali al-Daqaq, zikir merupakan tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah SWT, ia adalah landasan tarekat itu sendiri. Dan tidak seorang pun dapat mencapai Allah SWT, kecuali terus menerus berzikir kepada Allah.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan Ibn Abi Syaybah dan Thabrani dengan isnad Hasan: “Tidak ada amal yang dapat dilakukan oleh anak adam (manusia) untuk menyelamatkannya dari siksa kubur, kecuali berzikir kepada Allah.”

Antara zikir, fikir, dan amal saleh harus ada perpaduan, yang direalisasikan dalam bentuk amalan kehidupan yang nyata guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.

Manusia dengan jenjang hidup yang tak hanya di dunia saja. Harusnya mempunyai grand design pola pikir yang orientasinya ke depan. Bentuk kewarasan berfikirnya yang berlandasan dengan iman. Menyiapakan segala amal yang baik. Tentu akan berfikir bahwa menempuh perjalanan yang jauh butuh bekal yang banyak.

Dari Karimah binti Al Hashas Al Muzaniyah bahwasanya ia menceritakan kepadanya; Abu Hurairah menceritakan kepada kami ketika kami berada di rumah ini -yaitu rumah Ummu Darda`-, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meriwayatkan dari Rabbnya ‘azza wajalla, Dia berfirman: “Aku akan bersama hamba-Ku selama ia mengingat-Ku, dan kedua bibirnya bergerak untuk berdzikir kepada-Ku.” (HR Ahmad 10553, dengan isnad shahih).

Dari Abu Ad Darda` radliallahu ‘anhu ia berkata; Nabi SAW bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian mengenai amalan kalian yang terbaik, dan yang paling suci di sisi Raja (Allah) kalian, paling tinggi derajatnya, serta lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada bertemu dengan musuh kemudian kalian memenggel leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?” Mereka berkata; ya. Beliau berkata: “Berdzikir kepada Allah ta’ala.” Mu’adz bin Jabal radliallahu ‘anhu berkata2; tidak ada sesuatu yang lebih dapat menyelamatkan dari azab Allah daripada zikir kepada Allah. (HR Tarmidzi 3299).

Berfikir kita perlu diperbaiki sejak dini. Berfikir yang abadi bukan pragmatis. Menjangkau dimensi duniawi yang sesaat. Dan, itu perlu dilakukan saat ini. Menyiapkan diri sewaktu-waktu kita dipanggil oleh-Nya.

Zikir dan fikir haruslah beroreantasi untuk memperkokoh Tauhid Rububiyah maupun Tauhid ‘Uluhiyah kita. Yaitu tauhid yang melahirkan pemahaman tentang kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya, dan tauhid yang melahirkan amalan berupa ibadah kepada Allah SWT.

Goal-nya yakni kita melakukan aksi nyata; amal saleh. Beribadah dengan sebenar-benarnya ibadah. Hanya karena Allah. Bukan karena hal lain yang bisa menjadikan kita gemar menutupi ibadah kita untuk pencitraan, sarana duniawi, dan kepentingan politik pragtis. Memperbanyak amal saleh sebagai bekal kehidupan kita selanjutnya. Sebagaimana tujuan diciptakan jin dan manusia tak lain untuk beribadah kepada Allah.


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this
Chat
Hallo Sahabat Al Uswah
Admin ChatAl Uswah CentreWhatsApp
Dsu Al UswahWhatsApp