0

Oleh: Juwita Kridha Wicaksini, S.S.

Definisi rezeki bagi sebagian kalangan, seolah menjadi sempit dengan hanya sekedar diartikan sebagai harta. Harta dalam hal ini adalah uang atau penghasilan, sebagai upah bekerja atau bonus yang tak disangka-sangka. Maka tidak salah, jika konteks makna rezeki semakin mengerucut hanya untuk manusia saja.

Lalu, tak layakkah mahluk lain mendapatkan rezeki dariNya? Bukankah Allah telah menyampaikan bahwa, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Hud (11) : 6).

Nah, berarti bukan manusia saja yang berhak atas rezekiNya. Tumbuhan dan bahkan binatang melata sekalipun Allah telah jamin rezekinya. Tentu saja rezeki disini bukan berupa uang. Bayangkan saja seandainya rezeki binatang melata semacam kadal, ular dan buaya ini adalah uang… tentu manusia akan tertarik mengambilnya, sekalipun harus menggali dari dalam tanah.

Dengan izin Allah, binatang-binatang reptil tersebut mendapatkan rezekinya (makanan) berupa (misalnya) serangga, cacing, ikan-ikan kecil dan tikus. Burung yang terbang di pagi hari, insyaAllah kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang. Dan Allah sajalah yang mencukupkan rezeki untuk mahlukNya.

Analogi di atas cukup menjelaskan bahwa berbicara soal rezeki, ternyata tidak hanya kepada manusia dan tentang harta atau uang. Memiliki sahabat juga karunia tersendiri dari Allah sebagai nikmat (rezeki) bagi seseorang setelah keislamannya. Sang khalifah, Umar bin Khattab r.a., berkata “Tidak ada nikmat yang diberikan kepada seorang hamba setelah Islam, yang lebih baik dari sahabat yang shaleh. Maka apabila salah seorang dari kalian telah mendapatkan cinta dari sahabat shalehnya, hendaklah ia menggenggamnya dengan kuat”. Mempunyai sahabat yang baik, seperti memiliki aset atau harta yang luar biasa.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafi’i, “Jika engkau memiliki sahabat yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskannya. Mencari teman baik itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali“.

Selain sahabat, anak dan pasangan yang saleh-salehah adalah rezeki tersendiri. Ini berkaitan erat dengan keberadaan keluarga sebagai harta yang paling berharga. Tidak semua orang beruntung memiliki rumah tangga (keluarga) laksana surga yang penuh kebahagiaan, ketentraman dan keberkahan. Maka, doa terbaik yang diucapkan Rasulullah kepada setiap pengantin adalah “Barakallahulaka wa baraka’alaika wajama’a bainakuma fii khair”, yang artinya “Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang maupun susah dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan”.

Dari doa ini Rasulullah tidak mendoakan pasangan yang baru menikah supaya menjadi keluarga yang kaya raya, melainkan agar diberkahi Allah. Keberkahan dalam hidup adalah kondisi kehidupan yang baik dan kebaikannya bertambah-tambah dalam keadaan rezekinya tercukupi. Sekali lagi, rezeki apapun (berupa harta, anak-anak yang saleh-salehah, rumah yang nyaman, dll) terpenuhi dalam rumah tangga.

Sehat. Sudah pasti kita setuju mengatakan bahwa kesehatan adalah nikmat yang besar. Sudah terbayangkan tentunya bagaimana bila kita sakit dan memerlukan biaya, berapa jumlah harta yang mesti kita keluarkan untuk mengobatinya. Maka, kita Allah berikan sehat, sungguh bagaikan mendapat rezeki yang sangat mahal.

Dan, yang satu inilah rezeki terbesar dalam hidup yaitu keislaman kita dan anugerah pedoman dalam hidup, yakni kitab suci Al-Qur’an. Sebagai wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril, Al-Qur’an adalah petunjuk agung bagi setiap manusia untuk selamat dalam mengarungi kehidupan ini.

Betapa ruginya kita jika menganggap Al-Qur’an bukanlah nikmat dan karunia tersendiri. Bisa membaca, menghafal dan mentadabburi artinya adalah sebuah rezeki yang tak ternilai harganya. Agama Islam dan Al-Qur’an mengantarkan kita pada cahaya Allah yang sangat terang, menjauhkan diri dari kebodohan dan menguatkan keimanan kita pada Dzat Yang Maha Kuasa, Pemilik alam semesta. Patut kiranya kita syukuri rezeki ini.

Untuk itu, perluas dan luruskan pemahaman kita. Jangan hanya memaknai rezeki itu sekedar harta yang terukur dan menyenangkan, seperti uang dan materi duniawi lainnya (baca : emas, kendaraan, rumah dan tanah) namun juga rezeki yang tak terukur secara inderawi namun sesungguhnya menjadi aset yang tak terhitung besarnya secara logika kalkulasi manusia. Wallahu’alam bisshowab. Semoga bermanfaat. *Kepala Bidang Amal dan Usaha Al Uswah Tuban


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this
Chat
Hallo Sahabat Al Uswah
Admin ChatAl Uswah CentreWhatsApp
Dsu Al UswahWhatsApp