0

Al-Ghazali atau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Ulama yang menulis karya di bidang Tasawuf seperti kitab Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), Kimiya as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), dan Misykah al-Anwar (The Niche of Lights). Ada juga karya besar beliau, Tahafut Al-Falasiyah (Kerancuan Filsafat).

Ayah dari Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol yang taat pada ajaran Allah. Sepeninggal ayahnya, Al-Ghazali beserta Ahmad, adiknya, dititipkan pada salah seorang teman ayahnya. Temannya tersebut adalah seorang sufi hingga akhirnya dialah yang merawat dan mengasuh Al-Ghazali beserta adiknya.

Melansir dari buku Ihya Ulumuddin terjemahan: Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama oleh Dr. Hamka, Al-Ghazali sejak kecil sudah mulai mempelajari ilmu fiqih di kotanya sendiri di bawah bimbingan Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani.

Dalam tulisan ini, kami sajikan beberapa tips hidup bahagia menurut Al Ghazali. Penting bagi kita untuk mencapai tingkat kebahagiaan sejati. Membuat hati damai dan nyaman. Mengutip dari kesan.id, bagaimanakah cara meraih kebahagiaan?  Berikut tips Imam Al-Ghazali:

Sadar bahwa segala sesuatu hanya milik Allah

Proses menuju kebahagiaan bisa menjadi perjalanan panjang dan seumur hidup. Namun dengan mengetahui rahasia proses tersebut, seseorang bisa menjalani hidup dengan bahagia. Apa rahasianya? Allah berfirman:

اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kami kembali (QS. Al-Baqarah [2]: 156).

Menurut Al-Ghazali, jalan menuju kebahagiaan adalah dengan kembali dari dunia ini menuju kepada Allah.

Seseorang biasanya merasa sedih karena kehilangan sesuatu yang ia miliki, entah itu harta, kekasih, keluarga, atau jabatan. Perasaan sedih ini melekat karena rasa kepemilikan manusia masih tersisa di hatinya. Dengan mengembalikan semua itu kepada Allah sebagai pemilik asal, kehidupan tidak lagi menjadi beban.

Mengenal Allah melalui diri sendiri

Manusia bisa melepas rasa kepemilikan dengan mengenal Tuhan Yang Maha Memiliki, Allah. Namun bagaimana cara mengenal Allah? Sedangkan indera manusia terbatas kepada zat-zat fisik saja?

Al-Ghazali menuturkan jalan untuk mengenal Tuhan adalah dengan mengenal diri sendiri terlebih dulu, sebagaimana sebuah ungkapan Arab menyatakan:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Siapa yang mengenal dirinya sendiri maka telah mengenal Tuhannya.

Pengenalan diri adalah salah satu kunci untuk membuka pintu kebahagiaan. Pengenalan diri terbagi menjadi dua: mengenal fisik lahir dan mengenal apa yang ada di dalam diri (kalbu atau hati).

Maka yang dimaksud pengenalan diri bukan hanya memahami dan menggunakan fungsi indera dengan baik, tapi juga mencari jawaban atas pertanyaan apa dan siapakah kita? Dari mana kita datang? Untuk apa kita diciptakan? Dengan apa kita bahagia? Dan mengapa kita sengsara?

Dengan menemukan jawaban-jawaban di atas seseorang akan mencapai kebahagiaan yang hakiki.

Mampu menguasai nafsu dan amarah

Menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mengenali diri menggunakan akal saja tidak akan cukup. Kita juga  harus mengandalkan hati. Al-Ghazali menganalogikan hati sebagai raja dan akal sebagai perdana menterinya.

Keduanya bekerja untuk mengendalikan dua pasukan dalam diri, yaitu nafsu dan amarah, dua hal yang juga dimiliki hewan. Jika manusia hanya memakai nafsu dan amarah, maka ia tidak ada bedanya dengan hewan.

Kebahagiaan hewan dihasilkan melalui kenikmatan-kenikmatan yang dituntut oleh nafsu mereka: nafsu makan dan seksual. Manusia yang hanya mencari kebahagiaan pada urusan perut dan kemaluan, sejatinya hanya mendapat kebahagiaan semu. Sebab kebahagiaan manusia yang hakiki berasal dari hati.

Untuk mencapai kebahagiaan sejati itu, manusia tidak harus menghapus seluruh nafsu dan amarah, tetapi harus mengendalikannya. Kuncinya ada pada keseimbangan keduanya.

Jika porsi nafsu berlebih, maka akan muncul kefasikan. Sebaliknya, jika kekurangan maka yang terjadi adalah kelumpuhan dan kelesuan.

Sedangkan amarah yang berlebih akan menghasilkan kekerasan, dan jika kurang akan menghilangkan semangat membela dalam agama dan hak-hak duniawi.

Keseimbangan hidup dalam mengendalikan amarah dan nafsu inilah yang Allah harapkan dari kebahagiaan hamba-Nya, sesuai dengan firman-Nya:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (QS. Al-Qasas [28]: 77).

Terus mencari kebahagiaan dari hati

Makan dan minum setelah merasa lapar mungkin membahagiakan. Begitu juga tidur dan istirahat setelah seharian bekerja, bertemu dengan anak istri di rumah, membeli barang-barang mewah, dan sebagainya. Namun rasa lapar akan kembali, lelah akan datang lagi, dan waktu akan memisahkan seseorang dengan orang yang ia cintai.

Lalu apakah kebahagiaan hanya sementara saja? Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan yang sempurna tidak akan lekang oleh waktu. Dan kebahagiaan seperti itu hanya datang dari hati.

Kebahagiaan hati berasal dari makrifatullah atau mengenal Allah. Sebagaimana seorang rakyat jelata bahagia setelah mengenal rajanya, bagaimana mungkin seorang hamba tidak bahagia ketika mengenal Tuhannya?

Disarikan dari referensi: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali; Kimiya’ As-Sa’adah.


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this
Chat
Hallo Sahabat Al Uswah
Admin ChatAl Uswah CentreWhatsApp
Dsu Al UswahWhatsApp