0

Oleh: Zakiyyah Fi Rahmatillah*

“Plak!!! Sudah berapa kali abi bilang, mau jadi apa kamu kalau seperti ini terus?” Bentakan abi diikuti tamparan mendarat di pipi kananku. Aku masih berdiri tegar mencoba sekuat mungkin agar tak meneteskan air mata. Tetap terdiam, dan teguh dengan pilihanku untuk menjadi atlet basket, meskipun itu bertentangan dengan harapan dan pilihan orangtua ku.

“Dalam waktu dekat ini, umi dan abi akan mengirimmu ke pesantren.”

Tanpa sedikit pun menggubris perkataan abi, aku beranjak menuju kamar dan menguncinya. Gelap sekali rasanya duniaku. Cita-cita ku menjadi atlet basket tak sedikitpun mendapat hak untuk bersuara. Abi yang selalu marah mengetahuiku masih aktif dalam ekskul basket di sekolah maupun organisasi basket di luar sekolah.

Umi yang selalu menuntutku sesegera mungkin mengatamkan hafalanku agar bisa menjadi contoh sekaligus teladan yang baik bagi ketiga adik perempuanku. Ku akui aku memang keras kepala memperjuangkan cita-citaku, dan aku selalu berusaha keras meyakinkan orangtua ku bahwa tak selamanya olahraga menghalangi jalanku mengatamkan kalam-Nya. Banyak memenangkan kejuaraan dan olimpiade basket, tak sedikitpun membuat mereka bangga. Hanya sekedar mendengarkanku pun, rasanya seperti beban bagi mereka.

Aku pasrah. Tak ada lagi kekuatan untuk membantah. Dengan lunglai aku beranjak memberesi beberapa baju, kemeja, kaus dan perlengkapan lainnya. Mengumpulkan niat dan berusaha perlahan mengikhlaskan cita-citaku yang terhalang restu orangtua. Sakit? Pasti.

Siapa yang rela hobi dan impiannya dikubur begitu saja. Mengapa bukan aku sekalian yang dikubur? batinku masih kesal. Hufffttt, sudahlah. Percuma saja. Kembali ku hembuskan nafas kekesalan, sembari membanting badanku ke atas ranjang. Pikiranku mengelana, mencoba keluar dari zona aman, tetapi akal sehatku kembali menghadang. Tak terasa, sayup-sayup angin dari luar jendela kamarku perlahan membuat mataku terpejam.

______________________________###________________________________­

5 tahun kemudian

Setidaknya, aku sudah melupakan sakitnya mengikhlasan impian terbesarku. Aku benar-benar melupakannya. Tak sedikitpun yang tersisa dalam doa dan catatan impianku. Traumaku mendarah daging, bahkan untuk menghubungi abi dan umi saja aku tak tertarik. Bentakan, cacian tentang basket dan semuanya membuatku benar-benar terpukul dan tak pernah lagi menyentuhnya. Ditambah lagi dengan padatnya kegiatan di pesantren ini mulai dari belajar, mengaji, setoran dan masih banyak kegiatan lainnya membuatku benar-benar melupakannya.

Hari ini aku bersiap untuk ujian khatmil terbuka sekaligus akhirussanah dan pembagian daerah untuk pengabdian. Aku tak ambil andil dalam program pengabdian, jadi aku berencana untuk langsung pulang sekaligus melanjutkan pendidikanku ke jenjang kuliah. Mungkin aku juga akan sedikit membantu orangtua di rumah merintis yayasan. Hitung-hitung bayar semua kebandelan ku dulu, ujarku membatin. Setelah selesai ku beresi barang-barang, aku bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu dan berganti baju.

Masih terrekam jelas dalam memoriku, betapa garangnya orangtua ku mengkoyak-koyak harapanku, menimbun impian sekaligus hobiku, menamparku dengan kenyataan dan fakta bahwa tak akan ada yang membutuhkanku jika aku terus menekuninya. Lorong-lorong kecil di pesantren ini menjadi saksi bisu, tentang setiap hembusan nafas ku yang selalu berusaha ikhlas melepaskan semua.

Pikirku restu orangtua lebih kubutuhkan untuk kesuksesan dunia dan akhirat. Terlepas dari itu semua, aku malu jika terus menerus dibanding-bandingkan dengan ke tiga adik perempuanku perihal hafalan, pelajaran agama dan semua yang menjadi tolok ukur kesuksesan menurut orang tua sekaligus keluarga besarku. Aku satu-satunya anak laki-laki di keluargaku. Ekspektasi orangtua ku, tanggungjawab dan amanah yang diembankan pada ku tak main-main banyaknya.

Pasrah. Hanya itu yang tersisa dalam jiwaku kali ini. Tak ingin banyak bicara, berdebat dengan orangtua ku, mementingkan egoku, membuang banyak tenaga yang akhirnya sia-sia karena pilihan abi akan selalu menang. Sertifikat dan piala basketku tak akan mampu menggantikannya. Juara paralel 9 tahun berturut-turut, penghargaan murid teladan, kejuaraan nasional pun tak sedikit pun mengubah pendiriannya.

______________________________###________________________________­

Ujian terbuka tadi berjalan dengan lancar. Tapi, aku belum menemui orangtua ku. Sesekali melirik jam di pergelangan tangan ku seraya membatin masa umi abi lupa sama aku?. 5 menit, 10 menit hingga 30 menit berlalu tak satu pun panggilan menyebut namaku. Karena tak sabar, akhir nya aku berdiri dan bergegas menuju kantor pengurus.

“Assalamu’alaikum. Permisi akhi, ana mau pinjam handphone pondok untuk menghubungi orang tua.” Ujarku langsung pada maksud kedatangan.

“Wa’alaikumussalam. Oh.. antum Fahri Dzulhilmi, dari Kediri?.”

“Na’am akhi.”

“Ini ada titipan surat untuk antum. Ini handphone nya.”

Aku menerima surat dan handphone sekaligus dengan perasaan campur aduk. Akhi Akbar yang melihatku gugup hanya tersenyum dan mengisyaratkanku untuk mencari tempat yang nyaman untuk membaca surat dan menghubungi orangtua ku di luar kantor.

Aku keluar dari kantor dengan perasaan yang semakin campur aduk. Mencari tempat di sekitar taman untuk duduk dan mulai membuka surat pemberian orantua ku.

Teruntuk jagoan abi dan umi. Muhammad Fahri Dzulhilmi Al Haidar

Assalamu’alaikum nak… Bagaimana kabarnya? Alhamdulillah, abi dan umi sudah mendengar kabar khatam mu dari ustaz Ridwan. Langsung saja, abi mau me minta maaf karena besok di acara khotmil mu, abi dan umi tidak bisa datang. Abi tau, Fahri tak ambil bagian dari program pengabdian karena pada dasarnya Fahri tak begitu tertarik dengan dunia pendidikan. Tapi, abi dan umi berpesan selalu pada mu agar tak lupa tetap membagikan ilmu yang telah Fahri peroleh dari pondok pesantren, pengalaman Fahri dalam proses menghafal Al-Qur’an, proses menuntut ilmu dan pasti masih banyak lagi pengalaman Fahri. Nak… Mengajarkan ilmu yang sudah kau dapat itu bagian dari tanda bahwa ilmu mu manfaat, pasti Fahri sudah mempelajari itu. Hal itu, juga bisa menjadi amal jariyah bagimu, abi dan umi jikalau nanti waktu kita telah tiba. Mungkin itu saja pesan abi dan umi. Pulanglah nak… semua yang di rumah merindukanmu. Umi sangat ingin memelukmu. Di setiap habis shalatnya, umi mu selalu menangis mendoakan kebaikan dan kesuksesanmu, berharap kamu sesegera mungkin pulang dan memeluknya. Umi selalu menolak ketika abi ingin menelponmu, umi takut kerinduannya padamu menghalangi jalanmu untuk segera meraih sukses. Terima kasih nak… abi dan umi belajar banyak lewat dirimu. Maafkan abi dan umi belum bisa sepenuhnya memahami karakter dan kepribadianmu. Abi dan umi terlalu egois perihal pendidikan dan masa depanmu bahkan abi tak pernah mau mendengarkan tentang apa yang kamu cita-citakan. Abi dan umi selalu rida denganmu. Apapun jalanmu setelah ini, abi dan umi akan mendukungnya selama itu masih dalam koridor kebaikan. Sampai jumpa di rumah nakKami akan selalu sayang dan merindukanmu.

Dengan segenap hati penuh rindu

Abi dan Umi

Selesai ku baca surat dari abi dan umi, ku lipat lalu kembali kumasukkan ke dalam amplop. Tak terasa, air mata ku menetes. Remuk rasanya hatiku mengetahui satu-satunya wanita yang ku cintai di dunia ini menangis karena merindukanku tapi bahkan menghubungiku saja, beliau takut mengganggu kegiatan di pesantren. Dadaku bagai dihujani milyaran anak panah, basah dan berdarah. Aku juga merindukannya, merindukan abi dan umi, merindukan adik-adikku, merindukan semua orang di rumah.

Pikiranku melayang, handphone di genggamanku tergeletak begitu saja. Tak ku pedulikan keadaan sekitarku, terus berkelana dengan pikiran yang membawaku pergi jauh ke masa lalu. Membuatku sedikit demi sedikit tersadar, menyesal dan akhirnya memutuskan untuk langsung menghubungi orangtuaku.

…. …. …. cklik. Assalamu’alaikum.

Bersambung…

*Santri Kelas XI IPS SMAIT Al Uswah Tuban


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this
Chat
Hallo Sahabat Al Uswah
Admin ChatAl Uswah CentreWhatsApp
Dsu Al UswahWhatsApp