0

Oleh: Zahra Surya Widia*

Seisi kota benar benar menghantam isi kepalaku. Aku tak tau apa aku berkepribadian ganda ataupun ada orang yang serupa denganku orang sekitarku mengucilkanku atas tuduhan pembulian yang kulakukan pada adik kelasku hingga ia tewas mengenaskan, padahal aku tak merasa melakukannya.

Mereka menuduhku dan menganggapku seolah aku penjahat kelas kakap. Tak hanya itu, bahkan keluarga korban mengancam hukuman setimpal terhadapku. Karena aku tak bisa dijatuhi hukuman sesuai keadilan hukum yang berlaku di negara ini, ya. Usiaku belum 17 tahun.

Padahal selama ini aku tak pernah berani mendekati kejahatan sekecil apapun, terlebih lagi membunuh orang? Aku saja takut darah, dan sering pula takut sendiri apabila melihat anak anak diperlakukan kasar. Meskipun dalam drama di televisi. Aku sendiri juga takut akan hukum timbal balik yang sering disampaikan oleh guruku dikelas.

Aku berada di sudut kota tepat disekitar rumah susun yang sudah lama tak berpenghuni.

Aku berada dilantai paling atas dan siap menerjunkan ragaku jauh dibawah sana, tapi aku takut akan pertanyaan malaikat munkar dan nakir yang belum kupersiapkan jawabannya saat ini. Aku juga takut akan malam pertama di bawah sana bersama hewan hewan pengurai yang akan menelan jasadku.

Akalku serasa tak dapat difungsikan saat ini, tuduhan tuduhan itu membuatku tercekik dan mati rasa akan pikiran yang jernih. Hati dan logika kisruh, ditikam, raga hanya bisa terdiam. Membuatku terdudup dan memeluk kedua lututku erat erat seraya menggigit bibir bawah yang sedari tadi sudah mengucurkan darah tanpa terasa.

Seluruh tubuhku basah akan karena keringat dingin, membuatku semakin lemas dan pucat. Tidak tidur pula aku sejak malam kemarin karena merasa ditikam sejauh ini. Heranku mengapa harus aku? Yang selama ini selalu dianggap murid teladan disekolah, apakah ada sesosok dalang dibalik semua ketakutanku ini.

Lagi-lagi aku terpejam, pada sandaran tembok yang kumuh di rusun itu. Tapi kali ini aku benar benar tertidur karena lelah mengucurkan air mata sehari semalam.

Dalam lelapan itu…..

Aku dipertemukan dengan sosok yang mirip denganku, berlari mengelilingiku dan tertawa dengan puasnya. Ia menggunakan gaun hitam panjang hingga menutupi ujung jari kakinya.

Aku terheran melihatnya, sambil mengernyitkan dahiku. Setelah puas tertawa ia meraih tanganku, menarik diriku hingga aku berada tepat di depan matanya saat ini. Ia menatap mataku dalam dalam sembari tersenyum ringan, dan berkata: kau atas rasa sulitmu adalah aku. Aku adalah bencana dalam dirimu, segera temukan aku atau kau akan menyesalinya.

Mataku terbelalak seketika, semua bayangan dihadapanku buram, dan ganda. Serasa seperti aku terkena diplopia sesaat karena efek bangun tidur yang terkejut akibat mimpi itu.

Punggungku terasa rapuh, kepalaku berat, dan kakiku lunglai. Mungkin akibat aku tak makan dari kemarin. Tapi dalam sukmaku rasa semangat itu seketika membara, guna mencari siapa sosok dalam mimpiku itu? Agar beban ini segera meringankan hidupku.

Perlahan tapi pasti, aku menyusuri kota sembari memperhatikan setiap manusia yang ada disekitarku. Dari ujung kota aku mencarinya, tanpa menambah sedikitpun asupan guna menambah energiku. Tapi tetap saja, semangat ini tak akan pernah surut.

Tanpa sengaja aku bertemu bunda, yang dari kemarin mencariku. Bunda menghampiriku, meraih tanganku, dan mengajakku pulang tanpa pikir panjang.

Aku merengek tak mau tapi tetap saja, energi bunda lebih kuat untuk menarikku masuk ke mobil kemudian bergegas pulang.

Sesampainya di rumah, bunda menyuruhku duduk diatas sofa. “Sepertinya aku akan diinterogasi”. ucapku dalam hati. Bunda memelukku erat erat, dan perlahan meneteskan air matanya yang menetes di pundakku. Semakin lama air mata itu semakin mengalir deras.

Aku berpikir karena hukuman mati yang akan dilakukan pihak korban terhadapku, aku mencoba tenang dan menelan ludah berat agar bunda tak semakin panik atas musibah berupa tuduhan yang menimpaku itu.

Tangisan bunda mulai surut meskipun masih tercampur dengan sesenggukan bekas tangisan. Bunda menarik napas perlahan dan mencoba mengatakan sesuatu padaku.

“Nak, maaf jika bunda merahasiakan kematian ayahmu selama ini. Sebenarnya ayahmu meninggal karena dijatuhi hukuman mati. Dengan kasus yang sama persis denganmu. Ayahmu membunuh rekan kerjanya tanpa alasan, karena ayahmu memiliki kepribadian ganda.

Ia orang yang beragama lurus, tapi sayang sekali saat kepribadiannya berubah menjadi psikopat. Ia tak pernah menyadarinya. Pembelaan dari dalam dirinya sangat kuat, bahwa ia tak pernah membunuh dan bertindak kejahatan. Akan tetapi bukti sudah sangat kuat, pembelaan atas dirinya sudah tak berguna lagi. Ia depresi karena kecewa akan perbuatannya sendiri.

Hingga suatu hari ia bermimpi saat depresi. Tentang sosok yang mirip dengan dirinya memakai jubah hitam dan tertawa melihatnya, kemudian sosok berjubah hitam itu menyuruhnya untuk mencari keberadaan sosok berjubah hitam. Tatkala saat ayahmu melakukan pencarian, di hari itu pula hukuman mati telah  ditetapkan untuk ayahmu, ia belum benar benar siap dengan hadirnya hari itu. Akan tetapi hakim telah memutuskan bahwa di hari itulah ayahmu harus dihukum mati.

Nak, jangan cari sosok itu! Karena sebenarnya sosok yang membunuh itu adalah dirimu sendiri. Tentang hukum yang akan dijatuhkan olehmu, hakim sudah menyetujui bahwa kau akan dihukum mati saat usiamu telah 17 tahun nanti. Masih ada sisa waktu 4 tahun untukmu, dalam persiapan bekal akhiratmu.

Persiapkanlah! Sebelum hukuman itu terjadi terhadap dirimu. Maaf jika terlambat menceritakan ini semua, bunda merasa sangat terpukul dan sangat bersalah atas hal yang menimpamu, ingin rasanya bunda menggantikan posisimu saat kau dijatuhi hukuman mati. Tapi hakim menolak permintaan bunda.

Bunda memohon maaf sebesar besarnya atas kejadian ini, bunda kurang memperhtikanmu, dan semua ini sudah terlambat. Bunda mohon maaf sayang,” ucap bunda sembari isak tangis. Air mata yang masih mengalir serta kedua matanya yang merah dan membengkak itu.

Aku benar benar merasa tertusuk, dadaku sesak, mataku terbelalak,air mata sontak mengucur, dan seketika mulutku terbungkam. Mendengar kisah ayahku itu, telingaku perih, dan hatiku terasa kikuk. Aku masih tak percaya tapi memang itu kenyataannya, bukti sudah sangat jelas melalui CCTV sekolah.

Bahwa aku memang memukuli anak itu hingga kepalanya pecah dengan menggunakan kayu yang terdapat banyak paku tajam melekat disisi atasnya. Aku tak merasa melakukan tapi adik kelasku itu benar benar tewas di hadapanku.

Hukuman mati itu benar benar harus aku jalani 4 tahun lagi. Aku tak bisa berkutik apapun lagi, yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah memohon ampun dan mempersiapkan kematianku nanti. *Kelas X IPS SMAIT Al Uswah Tuban


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this
Chat
Hallo Sahabat Al Uswah
Admin ChatAl Uswah CentreWhatsApp
Dsu Al UswahWhatsApp