Oleh: Fauzi Prayitno, M.A*
Keseharian Rasulullah di Mekah dipenuhi dengan penderitaan dan semakin bertemabah setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah. Bahkan para tokoh Quraisy berencana untuk membunuh Belia. Hingga pada malam 27 Rajab, Allah Azza Wa Jalla menampakkan kuasa-Nya dengan memperjalankan beliau dengan sebuah kendaraan yang disebut Buraq dari Masjidil Haram (Mekah) menuju Masjidil Aqsha (Palestina). Lalu menuju ruang angkasa, langit tujuh tingkat, hingga ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat lima waktu. Perjalanan tersebut dilakukan Rasulullah SAW dalam waktu satu malam.
Peristiwa Isra Mi’raj merupakan satu dari sekian mu’jizat Rasulullah. Peritiwa itu tidak mudah untuk diterima oleh akal masyarakat Mekah saat itu. Rasulullah sangat memahami bahwa kaumnya takkan mampu melihat (menyadari) keagungan dan kuasa Allah Azza Wa Jalla yang ditunjukkan kepada Rasulullah melalui peristiwa Isra Mi’raj.
Dalam Musnad Imam Ahmad No. 2860, Ibnu Abbas menceritakan: “Saat Rasul sedang duduk menyendiri, lewatlah Abu Jahal. Ia bertanya dengan nada mengejek, “Ada sesuatu yang terjadi kepadamu?”, maka Rasul menjawab, “Ya”. Rasul lalu bercerita bahwa ia diisra’kan tadi malam ke Baitul Maqdis, kemudian Abu Jahal bertanya, “Engkau mengaku telah pergi ke Baitul Maqdis (Palestina), kemudian pagi ini engkau telah berada di tengah-tengah kami?”, beliau menjawab, “Ya.”, kemudian Abu Jahal memanggil kaum Rasulullah Saw. untuk berkumpul supaya diceritakan oleh Rasulullah perihal peristiwa yang dialaminya.
Setelah mereka mendengar cerita tersebut, diantara mereka ada yang bertepuk tangan dan meletakkan tangannya di kepala karena terkesima dan sebagai bentuk pendustaan terhadap Rasulullah.
Salah seorang dari kaum Bani Ka’ab bin Lu’ai yang pernah berkunjung ke Majidil Aqsha berkata, “Jika benar kau telah mengunjungi Masjidil Aqsha, coba tunjukkan kepada kami ciri-ciri masjid itu!”
Rasulullah menjelaskan secara terperinci ciri-ciri Masjidil Aqsha, hingga akhirnya orang yang bertanya itu berkata, “Demi Allah, semua ciri yang dia ceritakan adalah benar!”
Namun, mereka yang menyikapi cerita tersebut dengan logika tetap mendustakannya. Para kafir Quraisy menjadikan Isra Mi’raj sebagai alat untuk menjatuhkan wibawa Rasul. Abu Jahal memprovokasi para muallaf untuk murtad, dan tidak sedikit yang murtad.
Abu Bakar adalah sahabat Rasul pertama yang membenarkan Isra Mi’raj. Ia berkata, “Jika Muhammad Saw. berkata seperti itu, sungguh dia telah berkata jujur”. Abu Bakar mempercayai Isra Mi’raj tanpa keraguan sedikitpun, dia berkata, “Sungguh, aku tidak ragu sedikitpun apa yang dikatakan Muhammad. Bahkan lebih daripada itu, aku membenarkannya atas warta-warta langit yang datang pada waktu pagi ataupun sore hari.” (HR Imam Hakim, Al-Mustadrak No. 4407).
Semenjak saat itulah Abu Bakar selalu dipanggil dengan sebutan Ash-Shiddiq (Sang Pembenar). Sikap Abu Bakar yang membenarkan Isra Mi’raj punya pengaruh besar bagi perkembangan Islam di Mekah. Dia adalah parameter kepercayaan masyarakat Mekah dalam menyikapi Isra Mi’raj. Dia mampu meneguhkan orang-orang yang terguncang iman Islam-nya karena provokasi Abu Jahal dan para kafir Quraisy.
Akhir kata, Isra Mi’raj adalah peristiwa yang merupakan konsumsi iman bukan logika, hendaknya kita sebagai muslim bersikap seperti Abu Bakar supaya peristiwa Isra Mi’raj ini memeperkokoh iman Islam kita bukan malahan membuat kita meragukan Islam. *Kepala HRD LPIT Al Uswah Tuban
(Admin)
0 Comments