Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan alam semesta ini dengan beberapa konsep ilmiah yang selalu dikaji dalam berbagai literatur keilmuan dunia. Semakin perputaran waktu, seiring bergulirnya zaman perkembangan khazanah cakrawala selalu menemukan rahasia dibalik rahasia Tuhan. Konsep dan paradigma ini yang terus digali oleh para sainstis dan pegiat ilmu untuk mengungkap apa yang belum dikaji sebelumnya. Tentu, dengan pola dan desain yang amat rijik untuk dilaksanakan dengan disiplin. Menyingkap tabir yang selama ini tersembunyi dibalik vakumnya daya dobrak pemikiran kita sendiri.
Menjadi pertanyaan besar pada lubuk hati kita, kenapa alam bisa seseimbang ini? Memutar poros galaksi dengan untaian waktu yang konsisten.
Nah, semua yang menjadi tugas kita sebagai manusia di bumi dengan amanah sebagai khalifah. Sepatutnya menerapkan asas keseimbangan (balance) yang harus kita pegang sebagai prinsip hidup berkehidupan. Suatu asas yang berkeadilan dalam membagi antara ibadah (akhirat) dan bekerja (bekarya) di dunia. Kesimbangan inilah yang nantinya akan kita temui dan rasakan dalam kenikmatan hidup di alam ini. Telah menjadi suatu doktrin kuat untuk kita hidup dengan mementingkan tujuan hidup, arah juang hidup, kebermanfaatan hidup, dan kehidupan setelah meninggal jasadiyah.
Dalam ajaran yang dirisalahkan oleh Rasulullah SAW melalui Al-Qur’an jika kita pelajari secara seksama, dapat kita simpulkan bahwa wahyu Islami yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW menampilkan adanya suatu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi (akhirat). Jelas bahwa keseimbangan begitu menjadi porsi penting dalam hidup kita. Jika telah bekerja secara paralel tiap harinya, tentunya kita harus beribadah secara khusu’ juga to?. Dunia dapat, akhirat juga dapet. Sebab, jika kita mengejar (beribadah) dengan serius dalam menggapai akhirat, dunia otomatis akan mengikutinya. Dan, berlaku sebaliknya.
Bila kita terlalu berlebihan mengejar kesenangan duniawi, maka kita akan terperosok menjadi manusia yang serakah, sebaiknya bila kita terlalu mengejar akhirat maka kita akan bisa menjadi manusia apatis yang tidak peduli lagi kepada keadaan di sekitar kita. Padahal manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan dalam tafsirnya (halaman 584, surat Thaahaa ayat 2-3): “Maksud diturunkannya wahyu dan alquran kepadamu serta ditetapkannya syariat bukanlah untuk membuat kamu sengsara. Tidak ada syariat yang memberatkan manusia dan tidak mampu mereka kerjakan. Namun wahyu, alquran dan syariat itu ditetapkan oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah jadikan sebagai pengantar kepada kebahagiaan, keberuntungan dan kemenangan. Allah telah memudahkannya dengan semudah-mudahnya dan telah memudahkan seluruh jalan dan pintu-pintunya.
Allah menjadikannya sebagai nutrisi bagi hati dan jiwa serta sebagai penyegar bagi tubuh mereka. Dapat diterima oleh fitrah yang lurus dan akal yang sehat, karena mengetahui kandungannya, yaitu kebaikan dunia dan akhirat.
Memang benar-benar seimbang dan mudah. Itulah karakter syariat terakhir yang menghapus syari’at-syariat terdahulu. Seimbang dengan hajat dan kebutuhan manusia secara duniawi maupun ukhrawi dan mudah untuk dilakukan.
Sebagai contoh, kalau kita ingin mengangkat satu benda yang berat, bila kita angkat tepat pada titik keseimbangannya, maka akan mudah diangkat. Namun bila tidak tepat pada titik keseimbangannya, maka akan sulit diangkat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan tentang kemudahan dan keseimbangan ini dalam ayat-ayat-Nya. Di antaranya :
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj:78)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Allah juga menjelaskan tentang keseimbangan dalam Islam dalam firmanNya:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil.” (Al-Baqarah: 143)
Al-Qur’an telah menjawab segala hal tentang kaitannya dengan manusia dan alam. Tak ada keraguan di dalamnya. Mengandung unsur keseimbangan antara dua dimensi yang menjadi perpaduan. Dan, akan menjadi pengembangan hidup jika benar diterapkan dengan saleh. Mengamalkan nilai-nilai keagamaan secara kontinyu dengah keikhlasan.
Secara tersirat kita umat manusia dituntut mampu memanfaatkannya untuk menciptakan kesejahteraan, keharmonisan dan keindahan yang terpadu. Membina nurani dengan semangat belajar akan suatu hal baru tiap waktu. Meniti pengembangan kecakapan hidup, pola pikir, dan kualitas ibadah kita.
Namun, jika telah dilepaskannya ikatan tali agama dini, maka akal menjadi di atas segalanya. Asas kesimbangan tak lagi berlaku. Kolep tak beraturan. Inkeseimbangan nantilah yang akan mengadili dan menghakimi segala sesuatu yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan manusia. Keputusan hakim akal bagaimanapun hebatnya sebatas itu pula keadilannya tidak akan selalu diterima. Bahkan di samping itu juga bertentangan dengan fitrah manusia bisa menjadikan konflik dan mungkin menimbulkan malapetaka yang sangat mengerikan.
Ilmu dan teknologi, dalam konteks kesatuan (tauhid), tidak bisa dipisahkan dengan iman (Garaudy, 1984:84) harus diarahkan pada kesucian dan tujuan yang mulia. Karena itu perpaduan akal dan kalbu, fikir dan zikir, perlu diperhatikan secara serius dan diaktualisasikan secara berkelanjutan, meningkat mulai sekarang, dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang diridai Allah SWT.
Prinsip hidup dengan seimbang dan berupaya berkembang tiap waktu menjadikan jiwa dan akal kita hidup. Dekat dengan Allah SWT menjadikan ruh kita damai. Derai nafas seakan lega dengan desiran kenyaman hati nurani. Jiwa seolah menjadi semangat menggapai asa meraih keridaan Allah azza wa jala.
Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Adapun di bawah derajat orang ini (yakni orang yang merasakan kelezatan dengan mengenal Allah dan bertaqarrub dengan-Nya), maka sangatlah banyak, dan tidak bisa menghitung banyaknya kecuali Allah. Bahkan, sampai pada derajat orang (yang masih bisa merasakan kelezatan dengan) melakukan hal-hal yang sangat hina, hal-hal yang kotor dan menjijikan, baik berupa perkataan maupun perbuatan…”
Dengan apa yang telah kita peroleh dari sifat pengasih dan penyanyang-nya Allah, kita menjadi manusia yang harusnya selalu bersyukur. Mengoreksi diri untuk selalu berbuat baik. Itulah prinsip dari balance and developing living.
0 Comments