0

Cerpen Karya: Jasmine Amiroh S. 7 C SMPIT Al Uswah Tuban

“Raissa, ayo bangun! Kita mau tahajud lho,” kata seorang perempuan. Perempuan itu menepuk pundakku berkali–kali. Aku pun bangun dari tidurku. Perempuan itu menatapku sambil tersenyum. Ya, dia adalah Nabila Azzahra, kakak kamarku. Dia tersenyum menatapku.

    “Ayo, cepat ambil air wudu, lalu shalat tahajud, oke?” katanya lembut, aku mengangguk. Aku berjalan sempoyongan ke kamar mandi untuk berwudu. Kak Nabila menemaniku ke kamar mandi. Setelah itu kami shalat berjamaah dengan yang lain. Setelah shalat tahajud, kak Nabila menambah hafalannya. Kudengarkan suara kak Nabila mengaji. Merdu sekali, dan enak didengar. Seketika rasa kantukku hilang. Aku pun turun menuju kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai, aku berjalan menuju kamar. Aku menyempatkan untuk rebahan di kasur. Tanpa sadar, aku ketiduran.

***

Aku terbangun dari tidurku, kak Nabila bersandar di tiang ranjangku. Aku ketiduran. Aku panik bukan main. Aku takut terlambat shalat subuh. Kak Nabila menenangkanku, dia bilang, masih ada lima menit untuk persiapan shalat subuh. Aku bergegas menuju kamar mandi. Lalu berlari menuju aula tempat kami shalat. Aku duduk di sebelah temanku, Aira. Kami murojaah sebanyak 5 surat, lalu shalat subuh. Setelah shalat subuh, kami membaca Al-qur’an, lalu membentuk halaqoh, dan ziyadah bersama. Begitu, kegiatan pagi di asrama berlangsung.

***

   Kini, akan kujelaskan mengapa aku begitu menyukai kak Nabila. Kak Nabila adalah anak yang baik, penyabar, tegar, dan mandiri. Setiap hari aku dibuat kagum olehnya. Kak Nabila adalah anak dari sepasang suami-istri yang hidup sederhana. Gamis panjang kak Nabila selalu menarik perhatianku. Ketika kutanya beli dimana gamis itu, kak Nabila menggeleng. Dia bilang gamis itu buatannya sendiri. Dibantu budhe-nya, kak Nabila membuat gamis itu. Aku kagum sekali. Kak Nabila sudah suka menjahit sejak kelas dua SD. Dia pernah bercerita, selama di SD, dia selalu berjualan kue bolu sepulang sekolah. Uang yang diperolehnya ditabungkan. Begitu seterusnya sampai tamat SD. Berkat uang tabungannya, kak Nabila bisa membantu ibunya membayar SPP. Aku kagum bukan main. Enam tahun di SD ia berjualan dan mengumpulkan uang. Kak Nabila juga jarang sekali pergi ke kantin. Kak Nabila lebih suka membantu mak Siti mencuci piring saat jam istirahat. Mak Siti juga nggak keberatan untuk memberi upah buat kak Nabila.

***

   Sore ini aku duduk di depan kamar. Menikmati angin sore. Aku menunggu kak Nabila kembali dari perpustakaan. Ya, kak Nabila bilang dia mau ke perpustakaan sore ini. Hingga menjelang maghrib, kak Nabila tak kunjung datang. Akhirnya aku pergi mengambil air wudu. Setelah shalat, aku pergi ke tempat makan. Saat melewati UKS, aku melihat dokter Puspa di sana. Harusnya, sekarang dokter Puspa sudah pulang.

     Siapa ya, yang sakit? Pikirku. Aku datang untuk memastikan.

     “Siapa yang sakit dok?” tanyaku. Dokter Puspa tersenyum, lalu menyuruhku untuk mengikutinya. Aku terkejut. KAK NABILA! Kak Nabila tertidur di sana. Wajahnya merah dan pucat. Aku menyentuh dahi kak Nabila. Panas, panas sekali. Bendungan air mataku mau jebol. Aku menahan tangis. Aku tidak mau menangis di hadapan dokter Puspa.

     “Nabila datang kemari tadi siang. Katanya kepalanya pusing. Ternyata, dia demam. Aku di sini harus menjaganya. Mungkin, besok pagi dia sudah sembuh…” dokter Puspa menepuk pundakku sambil tersenyum.

***

   Sudah 3 hari, kak Nabila berbaring di UKS. Aku masih memendam rasa sedihku. Tiap teringat wajah teduh kak Nabila, aku ingin menangis. Di saat seperti ini, biasanya hanya bunda yang bisa menenangkanku. Kali ini, setelah shalat aku berdoa, bendungan air mataku jebol seketika. Rasa rinduku kepada bunda membuatku menangis. Kakak kelasku, kak Aina menghampiriku. Dia memelukku.

     “Jangan menangis, Raissa. Aku tahu, kamu begitu rindu dengan bundamu. Tapi ingatlah, Allah SWT. akan mengganti kerinduan luar biasa ini, dengan kebahagiaan yang luar biasa. Jangan kecewakan bundamu. Percayalah, bundamu akan bangga begitu kamu keluar dari sini dengan akhlak yang terpuji. Bundamu menyekolahkanmu di sini karena yakin kamu dapat berubah menjadi lebih baik!” katanya sambil memelukku. Kami berpelukan erat. Rasanya, aku bisa meluapkan rasa sedihku dalam pelukan kak Aina. Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum.

***

   Sudah satu minggu kak Nabila demam. Keadaannya semakin buruk. Badannya semakin panas. Setiap malam kak Nabila selalu menggigil. Akhirnya dokter Puspa meminta pihak sekolah untuk memanggil orangtua kak Nabila. Setelah setengah jam, om, tante, ayah dan ibu kak Nabila datang. Menjemputnya menggunakan mobil. Sebelumnya, aku memeluk kak Nabila terlebih dahulu, lalu mereka pergi menuju rumah sakit. Air mataku jatuh. Aku menangis. Kak Nabila, orang pengganti bundaku itu, sekarang pergi. Rasa sedih menyelimutiku. Hidupku terasa suram disini tanpa adanya bunda, dan kak Nabila.

***

   Hari–hari terus berlalu. Kini, aku mulai terbiasa menjalani hari–hari di asrama tanpa kak Nabila. Ustazah Ilmi selalu memberitahuku keadaan kak Nabila. Katanya, kak Nabila semakin membaik. Namun HARI ITU akhirnya DATANG. Ibu kak Nabila menelponku. Suaranya terdengar serak. Aku mulai khawatir.

     Halo, apa benar ini Raissa? Kami memulai pembicaraan.

     “Halo, iya ini Raissa tante. Ada apa ya?” tanyaku cemas. Terdengar dari telepon, ibu kak Nabila menarik napas panjang.

     Itu, saya hanya ingin bilang, terima kasih kamu sudah peduli pada Nabila. Ini mungkin terdengar menyakitkan buatmu. Tapi, saya adalah ibunya. Tolong, kamu mengertilah dengan perasaan saya. Saya bukan orang kaya. Saya bahagia bisa memiliki anak mandiri, solehah, berbakti, dan bertanggung jawab seperti Nabila. Tapi hari ini, jam ini, menit ini, detik ini, saya beritakukan kamu, anak yang saya sayangi ini, su- dah- ti- a- da……

Kalimat terakhir ibunya kak Nabila membuat aku terkejut. Aku jatuh terduduk di tanah. Telepon genggam milik ustazah Ilmi kugengam dengan erat. Dadaku sesak. Aku menangis kencang. Rasa sedih, marah, jengkel, kesal, kukeluarkan semuanya. Emosiku meluap–luap. Tangisanku yang kencang membuat semua orang memerhatikanku. Aku tidak peduli. Aku merasa sangat terpukul. Pelukanku dengan kak Nabila kemarin ADALAH PELUKAN TERAKHIRKU DENGANNYA. Dokter Puspa dan ustazah Ilmi memelukku. Kak Aina datang kearahku. Kak Aina menepuk pundakku.

     “Raissa, dengarlah. Kita semua adalah milik Allah, dan kita pasti akan kembali kepada pemilik kita. Oleh karena itu, ikhlaskan saja kak Nabila. Karena, suatu saat kita juga akan kembali kepada Allah…” ustazah Ilmi mengusap pipiku yang basah. Lalu mencium keningku.

***

       Dear kak Nabila,

Selama ini, yang aku harapkan adalah, kita ini bersudara. Aku sudah menganggapmu sebagai kakakku. Aku memang terpukul dengan tiadanya dirimu. Tapi yang ingin kukatakan, aku menyayangimu sama seperti rasa sayangku terhadap kakakku sendiri. Aku coba mengikhlaskan perginya dirimu. Ingatlah, aku akan selalu mengenangmu. Tenanglah, kau di alam sana, tolong jangan lupakan aku…

                                                                                          I Miss you,

                                                                                  Raissa Alma Qanitah…

   Kutulis surat itu kuletakkan di atas kuburannya. Tepat di depan batu nisannya. Aku tersenyum. Tersenyum dengan jatuhnya air mata. Aku berjalan keluar dari makam sunyi itu. Daun dari pohon kamboja berguguran. Angin berhembus pelan. Kutinggalkan rasa sedih itu, kugantikan dengan rasa lega. Hari ini Allah memberiku banyak kenikmatan. Dan aku harus belajar untuk bersyukur.                           


Like it? Share with your friends!

0

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share this
Chat
Hallo Sahabat Al Uswah
Admin ChatAl Uswah CentreWhatsApp
Dsu Al UswahWhatsApp